Ketika beli buku, pasti sekalian beli pulpen keren apalagi kalau warnanya bagus, buku tulis estetik dengan ragam kertas, sticky note bentuk aneh-aneh, tapi akhirnya semua itu cuma jadi pajangan. Nggak dipakai, hanya dikoleksi rasanya sayang banget kalau digunakan.
Tentu ada alasan kenapa orang-orang senang membeli itu; khususnya saya, tentu karena langsung merasa ada semangat menulis dan produktivitas. Bahkan berandai-andai, “Dengan ini, saya nanti bisa bikin ini, itu.” Serius. Kamu begitu juga, kan?
Jadi, waktu saya explore Instagram {@hendjobers}. Ada satu feed yang menampilkan alat tulis keren parah, menggemaskan, yang bikin saya ingin juga punya seperti itu, rasanya seperti harus punya.
Well, di feed itu, mereka menggunakan hastag #StationeryAddict, #Stationeryenthusiast dan ada juga yang nyebut ini dengan #Stationeryphilia.
Nah, tiga hastag ini lah yang menjadi …
Alasan Mengapa Seseorang Suka Koleksi Alat Tulis Estetik.
Kalau kamu suka banget dengan kertas, istilah ini disebut sebagai papyrophiliac. Namun, untuk sebutan bagi yang terobsesi, antusias, atau memang senang dengan alat tulis, sayangnya belum ada istilah resmi; di sosial media, orang-orang menyebutnya stationery-addict, stationery enthusiast, dan stationery-philia.
Berikut ini beberapa alasan yang berhasil saya rangkum dari pengalaman pribadi dan teman-teman saya yang lain—kalau kamu ngerasa alasan ini sama denganmu, silakan tulis di kolom komentar, akan—kenapa fenomena ini sangat umum:
1. Gemes! Karena Estetik adalah Segalanya
Melihat alat tulis estetik dengan desain minimalis atau warna pastel tuh rasanya langsung pengen beli, terlebih khsusus retro. Apalagi kalau ada alat tulis yang edisi terbatas, seperti dibuat khusus sebagai cinderamata, bingkisan, dan pernak-pernik dari suatu event seperti seminar atau bazar.
Bagi saya pribadi, selain toko buku, toko alat tulis ibarat tempat healing visual. Gak heran ya kalau toko Gramedia juga jual alat tulis, ternyata emang ada juga loh yang mengkhususkan diri untuk belanja alat tulis doang, gak cuma beli buku tok. Ya seperti saya ini.
Setiap kali membeli alat tulis baru yang estetik, lucu dan menggemaskan; sebenarnya itu cuma…
2. Delusi Produktif
Saya punya pendapat yang cukup kuat. Begini, beli alat tulis itu berarti semangat baru buat nulis. Rasanya kayak, “Kalau punya ini, pasti makin rajin journaling atau nulis.” Padahal, kenyataannya cuma nambah koleksi alat tulis saja di meja kerja.
Ya, itu karena…
3. Terlalu Sayang untuk Dipakai.
Ya gimana, ya. Rasanya kek memang sayang banget untuk dipakai. Buku tulis lucu, pulpen warna-warni. Bagus disimpan aja.
Hal semacam ini tuh menciptakan suatu paradoks, menurut saya. Di mana, saya ngerasa sayang untuk menggunakan alat tulis karena bisa melakukan itu secara digital; di lain sisi, saya ingin sesuatu yang tradisional demi alasan kreativitas karena bosan.
4. Dopamin dari Belanja Alat Tulis Baru.
Fenomena ini juga sering ngasih kita dopamin karena belanja alat tulis estetik bisa kasih efek menyenangkan seketika. Rasanya kayak self-care, self-reward, walaupun akhirnya nggak kepakai.
Pada akhirnya, hal yang membuat rasa ingin membeli alat tulis baru tuh, karena…
5. Nostalgia dan Tradisi.
Karena kita kan sudah pegang alat tulis tuh dari masa sekolah dulu dan ada tradisi membeli alat tulis baru setiap semester baru; jujur saja itu menyenangkan.
Sebagai generasi yang masih masif menggunakan alat tulis—tak seperti sekarang yang sudah kolaboratif dengan penggunaan perangkat keras digital—jujur, membeli alat tulis baru tuh merupakan suatu tradisi yang selalu ada setiap semester baru.
Pasti ada banyak promo dan ragam stock di bulan-bulan kenaikan kelas. Tentu hal ini menciptakan nostalgia, saya jadi rindu masa-masa merengek ke orang tua untuk dibelikan. Apa istilahnya, ya? Mengobati inner-child.
Terus, kira-kira…
Apakah Membeli Alat Tulis tapi Tidak Dipakai itu Berbahaya?
Saya menyadur tanggapan dr. Riska Larasati dalam laman Alodokter yang menjawab sebuah pertanyaan terkait obsesi; dia bilang, kalau hal semacam ini tuh merupakan suatu hal yang normal seperti suatu hobi, alasannya jelas.
Hanya saja, jika kesukaan ini mulai mengganggu pikiran dan emosi, mengubah kepribadian sehingga mengganggu aktivitas sehari-hari; nah ini patut dicurigai.
Di lain sisi, kita juga harus peduli, nih karena hal semacam ini bisa membuat kita mengarah ke perilaku hoarding dan perilaku obsesif kompulsif. Dua perilaku ini tuh akan membuat kita jadi senang menimbun barang-barang dan mendorong kita untuk membeli sesuatu yang hanya memuaskan keinginan meskipun tidak terlalu berguna untuk diri sendiri.
Terus…
Bagaimana Cara Mengatasi Hal ini?
Well, saya sendiri juga belum tahu, ya. Karena saya juga sedang berjuang untuk mengatasi ini. Banyak saran yang saya dapat, yakni mindfulness, dan konsultasi. Kalau kamu punya saran dan pengalaman, tolong bagikan di kolom komentar, ya.
Saya pikir jawaban jelas untuk mengatasi hal ini, ya tentu saja…
Gunakan atau Buat Jadi Berguna.
Mari kita anggap ini sebagai hobi, sesuatu yang menyenangkan. Namun, jangan menyangkal bahwa sesuatu yang “candu” itu akan mengacaukan.
Saya punya argumentasi yang kuat. Saya sangat lelah dengan perangkat digital dan merasakan sensasi tersendiri dengan alat-alat tulis. Sebagai individu yang hidup di masa transisi antara konvensional ke digitalisasi; menulis menggunakan alat tulis merupakan bentuk ekspresi yang benar-benar bisa saya sadari.
Walaupun kadang-kadang, saya juga merasakan sensasi luar biasa ketika mengetik menggunakan papan tik keren.
Saya sadar, itulah kegunaan dari alat tulis saat ini. Di lain sisi, jika memang tidak digunakan sebagai alat tulis, saya masih bisa menggunakan itu sebagai hadiah. Namun, saya kepikiran… apakah menggunakannya sebagai hadiah merupakan suatu hadiah yang bagus?
Penutup:
Fenomena suka beli alat tulis tapi gak pernah dipakai ini ternyata relatif banget. Saya sedang terjebak di fase ini sekarang—semangat pengen produktif, tapi cuma delusi saja.
Well, itu nggak apa-apa. Selama fenomena ini masih bisa membuat kita tersenyum, tertawa, dan menghibur diri. Semoga, suatu hari alat tulis ini benar-benar membuat kita menulis walau hanya satu paragraf.
Alat-alat tulis estetik yang bukan digunakan untuk ditulis, tapi untuk disayangi... sampai akhirnya benar-benar dipakai. Suatu saat nanti.