Gagasan utamanya adalah toko buku tidak lagi bisa bertahan hanya sebagai ruang transaksi, melainkan harus berevolusi menjadi ruang yang menawarkan pengalaman.
Dalam konteks perubahan perilaku membaca, dominasi belanja online, dan melemahnya ruang publik literasi, experiential bookstore hadir sebagai respons kultural sekaligus strategis; bukan sekadar inovasi bisnis, tetapi pergeseran paradigma.
Krisis Toko Buku
Krisis toko buku adalah gejala dari perubahan ekosistem yang lebih luas, yang tidak berdiri sendiri dan tidak bisa dijelaskan hanya dengan satu faktor. Ritel buku fisik hari ini berada di persimpangan antara perubahan teknologi, ekonomi ruang, dan cara masyarakat berinteraksi dengan teks.
Penutupan Gunung Agung, serta strategi bertahan Kinokuniya dan Periplus menjadi penanda nyata krisis ritel buku di Indonesia.
Media nasional mencatat bahwa faktor utamanya bukan sekadar turunnya minat beli, melainkan kombinasi antara pergeseran belanja ke online, kenaikan biaya operasional: khususnya sewa ruang, serta pembajakan buku yang terus melemahkan rantai nilai penerbitan.
IKAPI secara konsisten menegaskan bahwa toko buku berada di posisi paling rentan dalam ekosistem perbukuan. Ketika distribusi bermasalah dan ruang fisik kehilangan daya tarik, toko buku menjadi pihak pertama yang tumbang.
Minat Baca Rendah
Data UNESCO tentang rendahnya minat baca Indonesia sering dikutip, tetapi jarang dikontekstualisasikan. Banyak pengamat literasi menilai bahwa masalahnya bukan pada absennya aktivitas membaca, melainkan pada perubahan bentuk dan ruang membaca.
Membaca buku cetak berbeda dengan mengonsumsi teks digital, baik dari segi kedalaman kognitif maupun pengalaman sosial.
Akademisi literasi dan dosen ilmu perpustakaan menekankan bahwa literasi harus dipahami sebagai praktik sosial. Ketika ruang membaca fisik menghilang, kebiasaan membaca mendalam ikut terkikis.
Dengan demikian, krisis toko buku adalah bagian dari krisis ekosistem literasi, bukan sekadar akibatnya.
Model Bisnis Baru Toko Buku
Model lama memposisikan toko buku sebagai ruang jual-beli semata: buku dipajang, harga ditentukan, transaksi terjadi, lalu pengunjung pulang. Dalam model ini, toko buku tidak memiliki keunggulan dibanding platform online yang lebih murah dan cepat.
Ketika pengalaman pengunjung diabaikan, ruang fisik kehilangan alasan untuk dikunjungi.
Fenomena runtuhnya toko buku besar juga terjadi di negara dengan tingkat literasi tinggi. Studi ritel budaya di Amerika dan Eropa menunjukkan bahwa masalah utamanya terletak pada biaya ruang yang tinggi dan minimnya pengalaman.
Istilah “death of bookstores” dalam kajian akademik merujuk pada kematian model lama, bukan pada kematian budaya membaca. Di sinilah experiential bookstore menemukan pijakan konseptualnya.
Apa itu Experiential Bookstore?
Experiential bookstore adalah toko buku yang dirancang berbasis pengalaman pengunjung, bukan sekadar penjualan produk. Buku tetap menjadi pusat, tetapi bukan satu-satunya alasan orang datang.
Pengunjung diberi ruang untuk membaca, singgah, dan berinteraksi tanpa tekanan membeli. Nilai utama toko buku bergeser dari transaksi ke pengalaman.
Aktivitas di Toko Buku
Dalam experiential bookstore, aktivitas seperti diskusi buku, peluncuran karya, bedah film, musik akustik, hingga nongkrong sambil membaca bukan pelengkap, melainkan inti.
Pakar ekonomi kreatif dan sosiolog budaya melihat model ini sebagai bentuk revitalisasi ruang publik berbasis buku, di mana interaksi sosial menjadi nilai tambah utama.
Experiential bookstore tidak bisa dilepaskan dari konsep ruang publik.
Ray Oldenburg mendefinisikan ruang ketiga: ruang antara rumah dan tempat kerja atau sekolah. Dalam konteks literasi, toko buku berpotensi menjadi ruang ketiga yang netral, inklusif, dan berkelanjutan; tempat membaca menjadi aktivitas sosial, bukan kewajiban akademik seperti Perpustakaan.
Meski teknologi digital mendominasi, ruang fisik menawarkan pengalaman yang tak sepenuhnya tergantikan layar: interaksi manusia, rasa kebersamaan, dan pembentukan kebiasaan membaca jangka panjang.
Experiential bookstore adalah strategi budaya untuk menjaga praktik literasi tetap hidup di era digital.
Gramedia Jalma, Taksu Book Cafe, dan Warung Sastra Yogyakarta.
Indonesia telah menunjukkan contoh konkret transformasi toko buku.
Gramedia Jalma di Blok M menghadirkan ruang baca nyaman, sofa, kopi, dan kebebasan membaca tanpa tekanan membeli. Model ini menandai pergeseran Gramedia dari ritel murni menuju ruang pengalaman literasi.
![]() |
| Gramedia Jalma ©Rialdi |
Taksu Book Cafe memadukan kafe, kurasi buku independen, dan diskusi komunitas. Meski berskala kecil, dampak kulturalnya besar, menunjukkan bahwa keberlanjutan toko buku tidak selalu bergantung pada volume penjualan, melainkan pada relasi yang dibangun.
![]() |
| Taksu Book Cafe ©Diovio Alfath |
Di X, saya melihat Warung Sastra Yogyakarta; yang menawarkan pengalaman membaca buku, ngopi sambil menikmati mie instan rebus atau ayam penyet.
![]() |
| Warung Sastra © Ari Bagus Panuntun |
Experiential bookstore menciptakan ruang temu langsung antara penulis dan pembaca, mengaktifkan komunitas literasi lokal, dan menghidupkan kembali ekosistem buku yang selama ini terfragmentasi.
Bukan Solusi Tunggal, Tapi Arah Baru.
Tidak semua toko buku harus seragam. Bentuk experiential bookstore sangat ditentukan oleh konteks lokal dan kapasitas pengelola. Buku tetap inti; pengalaman adalah penguat.
Hari ini, banyak kedai kopi yang mengusung konsep Book Coffe Shop; bisa saja di kemudian hari, akan ada Book Cookie Dounat Shop atau bahkan Warung Bakso dan Buku.
Penutup: Pengalaman di Toko Buku Bukan sekadar Rak, tapi Ruang.
Toko buku tidak mati; yang mati adalah model lama yang mengabaikan pengalaman manusia. Experiential bookstore hadir sebagai jawaban kultural atas krisis literasi dan ritel buku, dengan memadukan ruang fisik, komunitas, dan buku dalam satu ekosistem yang berkelanjutan.
Masa depan toko buku tidak ditentukan oleh seberapa banyak buku yang dijual, melainkan seberapa dalam pengalaman yang ditinggalkan. ©2025



