Menjadi penulis digital di industri kepenulisan 4.0 bukan hanya tentang menulis. Kini, peran penulis telah bertransformasi. Setidaknya, ada tiga hal yang kini menyertai langkah seorang penulis saat ini.
- Pertama, terkait cara menulis yang ikut berubah: dari tulisan tangan, menjadi ketikan, lalu hadir dalam format interaktif di berbagai platform dan sosial media.
- Kedua, tentang keterhubungan, di mana menulis kini lekat dengan praktik konektivitas di jejaring sosial, komunitas, dan kolaborasi lintas bidang. Hal ini, mencakup cara penulis berinteraksi dan penerapan netiket.
- Ketiga, perihal kesadaran baru sebagai pelaku industri kreatif yang dituntut tak hanya menulis, tapi juga memahami literasi digital hingga peran dan peluang profesional.
Di era industri kepenulisan 4.0, siapa saja kini bisa menjadi penulis; bisa menulis, menerbitkan, mempublikasikan, mendistribusikan tulisan, bahkan mendapatkan penghasilan dari menulis di internet menggunakan handphone, meskipun tak memiliki “bakat menulis” sama sekali!
Agak kontradiksi, tapi inilah keunikan dan ciri khas dari industri kepenulisan 4.0
Secara teknis, menulis tidak memerlukan bakat; yang diperlukan tentu saja: keterampilan. Namun, lebih dari keterampilan, dalam dunia digital ini, “kemauan” adalah yang utama.
Mengapa kemauan?
Karena siapa saja kini bisa menulis, ditambah dengan kegilaan algoritma yang memaksa penulis kini harus “mau” berkolaborasi dengan kreativitas sebagai alat berpikir, ponsel pintar sebagai alat kerja dan kecerdasan buatan sebagai pekerja-nya.
Apa itu Industri Kepenulisan 4.0?
Industri kepenulisan 4.0 merupakan istilah yang merujuk pada ‘industri penulisan digital’, istilah ini saya buat sendiri agar terlihat lebih keren saja.
Mengapa saya menyebutnya sebagai “industri kepenulisan”?
Karena, saat ini: penulis harus menggunakan “alat”. Sebagaimana makna dari “industri” di dalam KBBI, yakni kegiatan memproses dengan peralatan dan ‘kepenulisan’ yang bermakna sebagai ‘perihal penulis’. Jadi, secara sederhana, istilah ini merupakan hal-hal perihal penulis yang menggunakan alat …
- untuk menulis,
- untuk menghasilkan tulisan,
- untuk menjadi penulis.
Bukan sesuatu yang baru, sebab dari dulu pun kita sudah menggunakan alat untuk menulis, contohnya alat tulis seperti pena dan kertas. Hanya saja, saat ini alat dan media menulis telah bertransformasi, sehingga mengubah cara kita sebagai penulis menghasilkan tulisan. Dari buku catatan ke layar digital, dari tinta ke tuts keyboard.
…hal-hal itu tak hanya mengubah cara menulis, tapi juga cara berpikir, menyusun ide, dan menyampaikan tulisan, serta cara bercerita.
Transformasi Alat Tulis yang Mengubah Cara Menulis.
Dulu, menulis dengan alat tulis seperti pena dan kertas. Sekarang, menulis berpindah ke layar gawai.
Saat ini, saya sendiri sebagai penulis lebih sering mengetik di laptop, tablet, atau ponsel, dan menyimpan tulisan di cloud. Nanti, menulis bisa jadi semakin terotomatisasi; menggunakan suara, atau bantuan teknologi seperti AI sebagai co-writer. Seperti yang pernah saya coba, menghasilkan karya tulis menggunakan suara dari ponsel saya: Redmi POCO M3 Pro 5G.
Teknologi speech-to-text mengkonversikan suara menjadi teks. Well, terdengar futuristik, tapi tetap saja saya juga masih perlu merapikan tanda baca dari tulisan yang dihasilkan lewat suara tersebut. Saya pernah mencoba fitur ini di Chat GPT yang dari sisi tanda baca, saya akui cukup akurat.
Jika ditanya, saya sepakat bahwa menghasilkan tulisan lewat suara jauh lebih menyenangkan dan cepat, sebab menurut situs TypingMaster, manusia bisa menghasilkan 150-160 kata per menit. Berbeda dengan menulis, yang menurut Karolina L. dalam situs SpeedWriting yang bilang kalau rata-rata kecepatan mengetik itu hanya menghasilkan 40 kata per menit.
Saya membayangkan, rasanya pasti menyenangkan karena bisa menghasilkan tulisan hanya dengan berbicara. Sesekali bisa dicoba sebagai cara mengatasi writer’s block.
Perubahan alat tulis bukan hanya soal mengganti media, tapi juga mempengaruhi cara menuangkan ide dan menyusun gagasan. Alat yang digunakan ikut membentuk kebiasaan menulis, baik dari segi kecepatan, alur berpikir, maupun pola kerja.
Dari yang semula menulis di lembaran kertas, kini bisa menulis di layar gawai menggunakan berbagai platform dan media penulisan. Di sinilah transformasi alat menulis digital mulai mengambil peran yang lebih besar dalam kehidupan penulis masa kini.
Media Penulisan Digital: Dari Lembar ke Layar.
Ya, dulu tulisan merupakan cetakan yang selesai. Hadir dalam bentuk fisik, bisa dipegang pembaca; tersusun rapi di halaman, tercetak, dan tak bisa diubah begitu saja; kalau mau mengubah, ya harus menunggu versi cetakan selanjutnya.
Sekarang, tulisan seperti “fluida”—dapat berubah bentuk karena pengaruh—yang bisa di-edit setelah dipublikasikan, bisa ditanggapi pembaca secara langsung, bahkan bisa menjadi ruang dialog antara penulis dan pembaca.
Hal ini dikarenakan digitalisasi yang membuat karya tulis menjadi fleksibel karena harus interaktif. Kini penulis tak lagi menulis hanya untuk dibaca, tetapi menulis untuk keterlibatan, tanggapan, dan penyebaran. Hal ini, selaras dengan pendapat Karmila Br. Sembiring yang saya kutip dalam Indonesian Journal of Education and Development Research dari Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Medan, yang mengatakan bahwa:
Menulis di era digital merupakan aktivitas untuk memancing diskusi hingga perdebatan.
Sebab, hal itu memang menjadi bagian dari algoritma media penulisan digital; tempat para pembaca berkumpul dan menemukan karya untuk dibaca. Namun, sebagai penulis; penting juga untuk memahami netiket supaya membentuk citra dan persona yang disenangi pembaca.
Perubahan ini membawa dinamika baru: tulisan tak lagi sekadar teks, melainkan menjadi bagian dari ekosistem digital yang kompleks dan kompetitif. Masih menurut pandangan dari Karmila Br. Sembiring,
Dengan platform media yang berbeda, gaya penulisan saat ini juga sudah berubah. Tak sekadar gaya menulis yang monoton dan membosankan. Tantangannya sekarang hanya kemauan, waktu menulis, disertai tulisan harus cukup menarik perhatian untuk berkompetisi.
Apa yang disebut “menarik perhatian” atau atraktif, merupakan format yang menyesuaikan dengan media dan target pembaca. Tulisan kini bisa dilengkapi ilustrasi, audio, atau video; bisa dikemas ulang sebagai infografik atau konten interaktif.
Hal ini memunculkan peluang baru dalam cara penulis berkreasi. Perlahan, timbul bentuk-bentuk penulisan yang tak lagi konvensional; lebih interaktif, terbuka, dan berbasis jaringan. Salah satu wujud paling menarik dari perubahan ini adalah lahirnya siber sastra.
Sastra Siber.
Sastra selalu memiliki bentuk baru di setiap zamannya.
Sastra siber hadir bukan sekadar sebagai salinan dari buku cetak atau alih wahana dari cetak ke digital. Melainkan sebuah karya tulis yang benar-benar ditulis secara langsung di dunia digital itu sendiri.
Menarik untuk dibaca! Hal-Hal Dasar yang Harus Dikuasai Seorang Penulis di era Siber Sastra
Sastra siber tumbuh di ruang-ruang ramai di media sosial, disajikan dalam bentuk utas di X (Twitter), muncul dalam bentuk puisi dan quotes yang viral, atau hidup dalam narasi interaktif yang bisa dikomentari. Menariknya, bahkan kini muncul sub-genre “yang agak aneh” bagi saya seiring perkembangan dari sastra siber itu sendiri. Misalnya, Twitterature yang sangat digemari pembaca di X.
Saya mengutip kalimat dalam makalah dari Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran yang berjudul “Phenomenon of Cyber Literature”, yang disusun oleh Hilda Septriani. Dia mengungkapkan:
Di dunia siber, pembaca dari seluruh pelosok negeri benar-benar memiliki kekuatan dan kebebasan mutlak untuk memilih dan menilai suatu karya sastra yang ada di dunia siber kapanpun dan dimanapun.
Apa yang diungkapkan dalam kalimat di atas memang menjelaskan esensi dari sastra siber itu sendiri. Pembaca memang bisa langsung menjadi bagian dari cerita, terlibat secara langsung, kadang bahkan ikut mempengaruhi arah cerita.
Sastra telah menjadi ruang publik, tempat di mana penulis dan pembaca saling berdialog dan terkoneksi. Sehingga menuntut penulis untuk hadir bukan hanya sebagai pencipta karya. Peran penulis tak lagi sekadar menulis karya. Era siber sastra dalam industri kepenulisan 4.0 kini mengharuskan penulis untuk berperan sebagai pelaku dalam ekosistem kreatif.
Peran dan Keterampilan Penulis di Industri Kepenulisan 4.0
Peran penulis bukan hanya pengrajin kata, tapi juga kreator, public relation, dan bahkan pemasar untuk karya tulis-nya sendiri. Di era industri kepenulisan 4.0, seorang penulis diharuskan untuk lebih luwes dan adaptif. Tak hanya bisa menulis, tapi perlu keterampilan untuk:
- Pengelolaan blog untuk optimasi di mesin pencari.
- Membangun audiens di media sosial.
- Menciptakan konten untuk platform digital, hingga …
- Merancang produk turunan seperti kursus daring, atau jasa penulisan kreatif.
Penulis di masa kini seringkali harus menguasai lebih dari sekadar keterampilan merangkai kata, tapi juga perlu memahami distribusi digital, personal branding, algoritma media, dan ekosistem kreatif tempat karya tulis itu hidup.
Peran penulis pun menjadi lebih terbuka dan partisipatif. Harus aktif dalam jaringan, komunitas, dan kolaborasi. Banyak penulis kini membentuk relasi langsung dengan pembacanya, membangun loyalitas melalui interaksi, dan menghidupkan karya lewat berbagai bentuk media yang lebih interaktif.
Hingga, muncul writerpreneur. Peran baru bagi penulis yang juga pelaku usaha aksara kreatif. Writerpreneur tidak sekadar menulis untuk diterbitkan, tetapi mengelola tulisan sebagai produk yang punya nilai ekonomi.
Writerpreneur
Sebenarnya, writerpreneur merupakan istilah lain dari gabungan antara ‘penulis indie-’ dan penulis lepas. Karena, aktivitas-nya juga sama seperti dua istilah tersebut. Akan tetapi lebih profesional dan utuh.
Saya mengutip sebuah buku berjudul “5W +1H Writerpreneur: Panduan Insaf Pekerja Teks Komersial”tahun terbit 2019. Di awal, saya bilang kalau saya ini merupakan pekerja teks komersial, nah dari buku inilah saya mendapatkan istilah itu.
Bambang Trim sebagai penulis buku tersebut dalam bagian prolog buku mendefinisikan writerpreneur sebagai sebutan untuk:
… para penulis yang memang hidup sepenuhnya dari menulis, sekaligus mampu mengembangkan keterampilannya hingga menjadi bisnis…
Dalam buku tersebut, pekerja teks komersial merupakan tipikal penulis yang tidak membatasi dirinya pada posisi tertentu, maksudnya; tidak muluk-muluk harus menulis ini saja, atau satu itu saja.
Menjadi writerpreneur, masih dalam buku tersebut, berarti harus:
- Menguasai jenis tulisan. Seperti fiksi, non-fiksi, dan faksi.
- Memahami bentuk tulisan. Misalnya jurnalistik, bisnis atau kehumasan, akademis, sastra, dan hiburan.
- Memilih fokus atau berkiprah di banyak ranah: harus menjadi generalis atau spesialis yang menguasai satu topik atau bidang, serta menguasai jenis tulisan seperti di poin satu; atau menguasai bentuk tulisan seperti di poin dua.
Dari apa yang dijelaskan oleh Bambang Trim, saya menyimpulkan bahwa seorang writerpreneur merupakan tipikal penulis yang memiliki keterampilan menulis di banyak bentuk dan jenis tulisan, juga punya fokus sebagai seorang penulis spesialis.
Bambang Trim dalam laman LSP-Penulis dan Editor Profesional, serta situs-situs lain di mana dia juga membagikan tulisannya; menjelaskan beberapa lakon atau peran writerpreneur, seperti menjadi:
- Publicis — sejenis influencer seperti BookTuber, Booktweet, BookThreads, BookTok, Bookstagram.
- Self Publisher, Publisher Service, dan Book Packager.
- Literacy Agent.
- Ghostwriter dan Co-Writer.
- Kolumnis.
- Author.
- Content Writer atau Blogger.
- Konsultan naskah, Penyunting atau Editor lepas.
- Proofreader.
- Instruktur penulisan, Pelatih atau Mentor menulis.
Dari banyaknya opsi, menjadi penulis di industri kepenulisan 4.0 ternyata tak sebatas menulis novel online saja. Ada banyak pilihan. Namun, dari semua pilihan itu, ada satu hal yang menjadi benang merahnya …
Keterhubungan, konektivitas. Berjejaring; berkolaborasi.
Praktik Konektivitas dan Kolaborasi Penulis Digital.
Saya sangat suka dengan kutipan dari Ryunosuke Satoro Akutagawa, bapak cerita pendek Jepang.
Jika sendiri-sendiri, kita adalah satu tetes. Maka bersama-sama, kita adalah satu samudra.
Praktik konektivitas menjadi bagian paling penting dari aktivitas di industri kepenulisan 4.0 ini, karena penulis yang berkarya dan berkarir di dunia digital perlu membangun audiens, memperluas jangkauan, dan mempertajam proses kreatif. Tentu, hal ini bisa dilakukan jika seorang penulis mampu menerapkan netiket dalam aktivitas di internet.
Banyak penulis kini aktif berbagi proses menulis di media sosial, ikut diskusi komunitas, hingga saling memberi opini, saran dan masukan lewat grup, forum daring, atau platform menulis. Di tempat-tempat publik tersebut, tulisan bukan hanya dikomentari; tapi juga dipertemukan dengan pembaca potensial dan mitra kolaboratif.
Seorang penulis harus mampu mengembangkan produk turunan dari karyanya dengan cara menggandeng illustrator untuk membuat konten visual, bekerja sama dengan narator untuk mengubah karya tulisnya menjadi podcast atau audio-content, atau bahkan membangun proyek bersama editor dan penulis lain untuk menerbitkan antologi secara mandiri, hal ini sering dilakukan penulis untuk membentuk portofolio.
Lagi-lagi, netiket perlu diterapkan agar dapat memudahkan kolaborasi. Bukan hanya memperkaya karya, tapi juga memperluas potensi pasar dan kemungkinan penghasilan.
Kolaborasi membantu penulis menjangkau audiens baru, memperkuat branding, dan membuka jalur distribusi yang mungkin tak terbayangkan sebelumnya. Di saat yang sama, konektivitas menjaga semangat menulis agar tetap hidup: agar tidak merasa berjuang sendirian. Nah, dari ruang-ruang konektivitas inilah, muncul berbagai peluang dan potensi baru yang bisa dijelajahi di industri kepenulisan 4.0
Peluang & Potensi di Industri Kepenulisan 4.0
Akses digital membuat industri kepenulisan tak sebatas penerbitan buku. Ada yang merambah ke ranah content writer, copywriter untuk pekerjaan sebagai social media specialist, hingga konsultan konten digital–bahkan yang terbaru, menjadi prompt-writer.
Meski tidak menjanjikan jalan pintas menuju kesuksesan, era industri kepenulisan 4.0 menawarkan sejumlah kemungkinan baru bagi penulis; terutama dalam hal mendapatkan penghasilan, memperluas jangkauan, menemukan identitas, dan memilih jalur profesi yang sesuai dengan gaya menulis masing-masing.
Tidak semua penulis akan langsung mendapatkan uang dari tulisan pertama–tentu saja. Namun, ada pola yang bisa dilihat dan diikuti. Nah, hal yang perlu diingat bahwa menulis di ruang digital bisa berkembang menjadi aktivitas yang bernilai, baik secara kreatif maupun ekonomis.
Seperti saya, mulanya mengembangkan blog pribadi, kemudian mendapatkan monetisasi dari Google AdSense. Saya kemudian mencoba ke sesuatu yang lebih profesional seperti memilih menjadi content writer, dan juga mulai mendapatkan penghasilan dari layanan dan jasa penulisan yang saya tawarkan, seperti bengkel karya: di mana saya berperan sebagai seorang mekanik yang memperbaiki suatu karya tulis dari sisi ejaan dan struktur tulisan.
Penghasilan di Industri Kepenulisan 4.0
Di industri kepenulisan 4.0, penulis digital memiliki berbagai jalur penghasilan yang jauh lebih beragam. Tidak lagi terbatas pada honor dari media cetak atau royalti buku fisik, kini penghasilan penulis bersumber dari ekosistem digital. Saya tidak bermaksud mengatakan kalau cara itu sudah usang, tapi ada banyak alternatif yang bisa dicoba.
Misalnya, dari hasil menerbitkan karya secara mandiri melalui platform digital, menjual jasa di bidang penulisan, hingga memonetisasi tulisan di media sosial dan platform berlangganan. Di era kepenulisan 4.0, kemampuan menulis dan membangun audiens menjadi dua kekuatan utama yang saling melengkapi dalam membentuk aliran penghasilan yang solid bagi seorang penulis digital.
Tantangan di Industri Kepenulisan 4.0
Meskipun industri kepenulisan 4.0 membuka banyak peluang baru bagi penulis digital, kenyataannya tidak semua hal berjalan mudah. Tentu, masih ada tantangan yang perlu dihadapi. Dari sudut pandang saya, yang terlibat dan berperan di industri ini. Berikut beberapa tantangan dan rintangan yang pernah dan masih saya hadapi:
Persaingan dan Kejenuhan.
Salah satu tantangan utama dan yang paling jelas, tentu saja tingginya tingkat persaingan. Seperti yang telah saya jelaskan di awal artikel ini: siapa saja kini bisa menerbitkan tulisan. Nah, akibat dari kemudahan itu, tentu kualitas tulisan seringkali harus bersaing bukan hanya dengan sesama penulis, tetapi juga dengan tulisan-tulisan yang dihasilkan secara cepat atau bahkan otomatis oleh teknologi kecerdasan buatan.
Menghadirkan sesuatu yang segar, dan beda menjadi tuntutan. Pembaca cepat merasa bosan, dan suatu pembahasan bisa naik-turun, viral-redup, atau segar-basi.
Konsistensi dan Mental Produktif
Faktor lain yang patut diperhatikan adalah tekanan untuk selalu relevan dan produktif.
Di tengah arus informasi yang mudah berubah cepat, penulis dituntut untuk terus mengikuti perkembangan tren, teknologi, dan preferensi audiens. Menjaga konsistensi kualitas sekaligus memproduksi konten secara rutin bukan perkara sederhana, apalagi jika dilakukan sendirian tanpa tim pendukung.
Burnout, distraksi, popcorn brain dan kelelahan mental menjadi risiko nyata bagi penulis yang terlalu memaksakan diri.
Ketergantungan Algoritma dan Platform
Nah ini yang krusial, tantangan soal kestabilan penghasilan.
Tidak seperti bekerja di perusahaan dengan gaji tetap, penulis digital yang berkiprah di industri kepenulisan 4.0 sering menghadapi ketidakpastian dalam hal proyek atau penjualan karya.
Pendapatan bisa naik-turun tergantung musim, algoritma platform, atau tren pasar yang berubah-ubah. Hal ini bisa menjadi tekanan tersendiri dan membuat profesi ini terasa tidak aman secara finansial. Itulah mengapa, dari sudut pandang saya; menjadi penulis digital di industri kepenulisan 4.0 masih dipandang sebagai pekerjaan sampingan.
Well, adapula penulis yang tidak terlalu ketergantungan dengan algoritma, tapi untuk berani memilih jalur itu, perlu personal branding yang harus dibangun tak mudah.
Plagiarisme dan Minim Literasi Digital.
Terakhir, ada tantangan terkait plagiarsime dan minim literasi digital.
Sudah banyak kasus, pencurian karya, pendistribusian karya ilegal hingga penggunaan tulisan tanpa izin. Hak cipta memang ada, akan tetapi tidak selalu mudah diterapkan, terutama di platform dan di negara yang aneh ini. Penulis digital harus memahami aspek legal, lisensi, dan menjaga integritas karyanya sendiri, sembari tetap terbuka terhadap kolaborasi dan distribusi yang lebih luas.
Semua ini menunjukkan bahwa di balik peluang besar yang ditawarkan, industri kepenulisan 4.0 tetap membutuhkan kesiapan mental, keterampilan bisnis, dan pemahaman akan literasi digital.
Literasi Digital
Menurut Mark Warschauer, seorang profesor pendidikan dan informatika di Universitas California, Irvine, yang juga menjabat sebagai direktur Laboratorium Pembelajaran Digital mengelompokkan literasi digital yang mencakup tiga dimensi utama, yaitu:
- Keterampilan teknologi yang mengacu pada kemampuan menggunakan perangkat dan aplikasi digital.
- Pemahaman informasi yang berkaitan dengan kemampuan mencari, mengevaluasi, dan menggunakan informasi digital secara efektif.
- Aplikasi sosial yang melibatkan penggunaan teknologi untuk berkomunikasi, berkolaborasi, dan berpartisipasi dalam masyarakat digital.
Tiga poin di atas, sebenarnya sudah saya jelaskan di sepanjang artikel ini ditulis. Mulai dari pemahaman akan transformasi alat seperti perangkat dan aplikasi; pemahaman akan profesi dan bentuk seperti writerpreneur dan sastra siber, hingga peluang kolaborasi dan partisipasi penulis dalam perannya.
Berikut ini, beberapa pemahaman dasar akan literasi digital yang perlu dipahami penulis:
Regulasi Platform: Kontrak, Lisensi dan Legalitas.
Beberapa waktu lalu, salah satu platform menulis novel buatan Indonesia, KBM dihapus dari Google Play Store karena ulah dari penulisnya itu sendiri. Penyebabnya karena si author mempublikasikan novel tulisannya sendiri yang telah menandatangani kontrak eksklusif ke lintas platform.
Dari apa yang terjadi, ternyata perihal ketidakpahaman akan kontrak, lisensi dan legalitas menjadi alasan utama. Walau karya milik sendiri, tentu jika sudah dipublikasikan ke platform harus mengikuti regulasi yang berlaku.
Memahami kontrak menjadi salah satu hal yang tidak boleh diabaikan. Ketika bergabung di platform self-publishing atau media sosial dengan fitur monetisasi, biasanya terdapat syarat dan ketentuan yang memiliki kekuatan hukum layaknya kontrak: biasanya terdapat klausul yang mempengaruhi hak kepemilikan, pembagian pendapatan, atau bahkan wewenang atas penggunaan karya di tempat lain.
Monetisasi
Kalau dalam KBBI, monetisasi berarti mengubah sesuatu menjadi sumber penghasilan. Jadi secara sederhana, monetisasi inilah sumber penghasilan dan jawaban dari pertanyaan: bagaimana cara menghasilkan uang dengan cara menulis di internet?
Sepemahaman saya menjadi seorang Pekerja Teks Komersial, monetisasi tulisan dapat dilakukan dengan beberapa cara, seperti:
- Penayangan Iklan: menghasilkan uang dari jumlah iklan tayang dan klik.
- Afiliasi: memasarkan produk atau layanan dalam tulisan, kemudian mendapatkan komisi dari hasil penjualan.
- Endorsement: mendapatkan bayaran untuk mempromosikan produk atau layanan di dalam tulisan.
- Donasi: pembaca memberikan dukungan langsung.
- Langganan: pembaca membayar biaya langganan untuk tulisan eksklusif yang ditawarkan.
Sejauh ini, baru lima cara di atas yang pernah saya lakukan. Well, mungkin bisa saja ada cara terbaru lain yang muncul di kemudian hari, nanti.
Memahami cara memonetisasi tulisan dan bagaimana mengelola fitur monetisasi tulisan agar menjadi sumber pendapatan merupakan salah satu pemahaman literasi digital dasar yang mesti diketahui penulis, khususnya penulis yang memang berkarir di bidang ini.
Hak Cipta
Dalam laman Kemenkum, Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual. Agung Damarsasongko sebagai Direktur Hak Cipta dan Desain Kreatif menjelaskan bahwa
Hak Cipta merupakan bagian dari kekayaan intelektual yang melindungi ilmu pengetahuan, seni dan sastra, serta mencakup pula program komputer.
Hak Cipta ini timbul secara otomatis ketika sebuah karya diwujudkan tanpa proses pendaftaran resmi untuk mendapatkan perlindungan.
Memahami hak cipta merupakan kemampuan dasar, agar penulis tidak sembarang menampilkan tulisan orang lain di dalam tulisannya. Tak hanya tulisan, bahkan karya lisan seperti ceramah, pidato atau podcast juga punya hak cipta, sehingga ketika menggunakan karya lisan sebagai kutipan, perlu memahami hak ekonomi dan hak moral agar tidak menimbulkan pelanggaran hak cipta, nantinya.
Hal yang dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hak cipta, di antaranya:
- Distribusi tanpa izin.
- Menjual tanpa izin.
- Mengubah dan meng-klaim menjadi milik pribadi.
Etika Menulis - Netiket
Mengutip makna dari Binus University terkait “Netiquette”, merupakan singkatan dari “network etiquette” atau “internet etiquette”. Mudahnya, Netiquette atau Netiket adalah etika di jaringan dunia maya. Pada dasarnya netiket tidak memiliki dasar hukum, ini hanya peraturan tak tertulis saja.
Netiket itu penting bagi penulis yang berkarir dan berkarya di internet. Seperti yang telah saya jelaskan sebelumnya, bahwa poin penting dalam praktik ini adalah konektivitas, jadi mengedepankan netiket merupakan kunci utama agar praktik konektivitas dapat berjalan lancar.
Bagi penulis, berikut beberapa netiket yang perlu diketahui:
- Penggunaan tanda baca. Bagi beberapa pengguna internet, huruf kapital dapat dianggap sebagai bentuk kemarahan, atau bentakan. Walau memang fungsi dari kapital adalah penegasan. Jadi, hati-hati dalam berinteraksi dan berkomunasi di sosial media.
- Hak Cipta dan Privasi. Jangan sembarangan mengunggah atau mempublikasikan sesuatu yang memiliki hak cipta dan hal-hal terkait privasi seperti identitas.
- Interaksi yang positif
- Sesuai Konteks dan Tujuan.
- Pikirkan dampaknya.
Menjunjung netiket merupakan bentuk profesionalisme dan tanggung jawab. Karena tulisan dan interaksi kita di internet adalah cerminan sikap, walau sebenarnya saya sendiri kurang setuju; sebab saya sendiri sering menggunakan cyber persona atau alter-ego saya sebagai identitas di internet.
* artikel ini belum seutuhnya selesai, masih akan terus diperbarui.